Dakwah Multikultural; Relasi Islam dan Tradisi Lokal
Agung
Mahasiswa S2 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Parepare
Pendahuluan
Islam agama rahmat bagi seluruh alam kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Islam mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya.
Dalam kondisi masyarakat yang majemuk yang kaya akan keberagaman seperti Indonesia, maka ummat islam haruslah betul-betul memikirkan dan memperhatikan strategi dakwah yang perlu di susun untuk kesuksesan menyampaikan pesan-pesan islam melalui dakwah, yang dakwah pada hakikatnya adalah ikhtiar melanjutkan risalah yang di bawah oleh Nabi Muhammad Saw.
Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Dari agama-agama tersebut terjadilah perbedaan agama yang dianut masing-masing masyarakat Indonesia, dengan perbedaan tersebut apabila tidak terpelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.
Dalam konteks keberagamaan, sebagian umat beragama senantiasa mensosialisasikan ajaran-ajaran agama mereka kepada masyarakat yang plural dengan tidak mengindahkan wajah pluralitas kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Disinilah nilai signifikansi perspektif multikultural perlu dimiliki oleh siapapun yang hendak menyampaikan pesan-pesan agama dalam masyarakat yang multikultural. Sebab perspektif multikultural menyuntikkan spirit pengakuan terhadap pluralitas budaya sekaligus menerima secara positif segala bentuk pluralitas budaya kehidupan umat manusia tersebut.
Dakwah dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena Islam tidak akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya proses dakwah. M Quraish Shihab mengatakan bahwa dakwah merupakan usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka membangun ummat untuk memperoleh keridhoan Allah Swt. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa secara esensial dakwah adalah seruan menuju kebaikan atau keinsafan atau berusaha mengubah situasi menjadi lebih baik dan sempurna, baik itu dalam pribadi maupun dalam masyarakat.
Dakwah merupakan inti dari ajaran agama Islam. Tanpa dakwah, mustahil dapat mewujudkan ajaran luhur yang terkandung dalam wahyu Tuhan dan misi kenabian. Pada dasarnya, setiap individu Muslim memiliki tanggung jawab sebagai mubalig, atau penyampai pesan, yang dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam menyebarkan nilai-nilai agama.
Secara etimologis kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar, yaitu da’a, yad’u, da’watan, yang artinya menyeru, mengajak, memanggil. Kata tersebut telah menjadi istilah baku dalam Bahasa Indonesia, dalam kamus besar bahasa indonesia, dakwah memiliki arti; penyiaran, propaganda, penyiaran agama dikalangan masyarakat dan pengembangannya, seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan agama.
Kata dakwah secara etimologis terkadang digunakan dalam arti mengajak kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah swt., para Nabi dan Rasul serta orang-orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula diartikan mengajak kepada keburukan yang pelakunya adalah syaitan, orang-orang kafir, orang-orang munafik dan sebagainya.
Berdasarkan dari definisi tersebut dipahami bahwa dakwah merupakan suatu usaha memindahkan umat dari situasi negatif kepada yang positif. Seperti dari situasi kekufuran kepada keimanan, dari kemelaratan kepada kemakmuran, dari perpecahan kepada persatuan, dari kemaksiatan kepada ketaatan untuk mencapai keridaan Allah, semuanya itu termasuk dalam pengertian dakwah.
Dakwah multikultural merupakan satu metode yang kerap di gunakan sebagai strategi dan pendekatan dakwah di lingkungan masyarakat yang heterogen. Perbedaan dakwah di lingkungan masyarakat yang multi kebudayaan tentu menjadi problem tersendiri jika dai’ tidak mampu menyesuaikan dengan kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat. Di sinilah peran penting agma sebagai penuntun, khususnya islam yang memang pondasinya sebagai rahmatan lil alamin, kiranya pentign bagaiman agama islam memandang persoalan tradisi local dan apakah islam dan tradisi local mampu untuk di kobinasikan sebagai satu role model dalam aktivitas dakwah yang orang menyebutnya sebagai dakwah multikultural.
Proses Islamisasi pada dasarnya berada dalam proses akulturasi. Seperti diketahui bahwa Islam disebarkan di Nusantara sebagai kaedah normatif disamping aspek seni budaya. Dalam konteks ini, sebagai sebagai makhluk berakal, manusia yang beragama dan berakal mereka sangat mengetahui dan memahami dunianya sendiri. Pada alur logika seperti inilah manusia melalui prilaku budayanya senantiasa meningkatkan aktualisasi diri. Karena itu setiap akultrasi budaya, manusia membentuk memanfaatkan dan mengubah hal-hal yang paling sesuai dengan kebutuhannya.
Perbedaan latar belakang, sejarang dan tradisi manusia yang Beragama, tentu akan menimbulkan suatu kultur atau budaya yang berbeda (Multikultural). Dikarenakan manusia adalah makhluk berbudaya, maka dalam proses dakwah, dakwah dengan melaui pendekatan kultural tentu akan lebih merangkul pada ma’dunya. Maka disinilah sosialisasi pesan-pesan agama harus bersentuhan dengan adat, tradisi budaya yang ada pada masyarakat. Dari sini maka akan lahir dakwah kultural dengan pendekatan kultur. Dengan demikian, tulisan ini akan membahas akan bagaimana konsep pengembangan dakwah kultural dan relefansinya antara Islam dan budaya lokal.
Pembahasan
A. Dakwah Multikultural
Dakwah multikultural adalah pendekatan penyampaian ajaran Islam yang menekankan penghargaan terhadap keragaman budaya, tradisi, dan agama dalam masyarakat. Konsep ini sangat relevan di Indonesia, yang memiliki masyarakat beragam baik secara etnis, budaya, maupun agama. Dakwah multikultural bukan hanya tentang menyampaikan ajaran agama, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif untuk hidup berdampingan dalam harmoni.
Dakwah multikultural sejatinya berangkat dari pandangan klasik dakwah kultural, yakni pengakuan doktrinal Islam terhadap keabsahan eksistensi kultur dan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid. Hanya saja dakwah multikultural berangkat lebih jauh dalam hal intensitas atau keluasan cakupan kulturnya. Kalau dakwah paradigma kultural hanya fokus pada persoalan bagaimana persoalan Islam dapat disampaikan lewat kompromi dengan budaya tertentu, maka dakwah multikultural memikirkan bagaimana pesan Islam ini disampaikan dalam situasi masyarakat yang plural, tanpa melibatkan unsur “monisme moral” yang bisa merusak pluralitas budaya dan keyakinan itu sendiri.
Dalam konteks ini, para da’i dituntut untuk memahami nilai-nilai lokal dan tradisi budaya masyarakat. Pendekatan ini memastikan bahwa pesan-pesan dakwah dapat diterima tanpa menghapus identitas budaya masyarakat. Misalnya, dalam masyarakat adat, penyampaian pesan agama sering kali lebih efektif ketika disampaikan melalui medium seni atau ritual tradisional yang sudah dikenal. Strategi ini mencerminkan inklusivitas Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.
Namun, dakwah multikultural menghadapi tantangan, salah satunya adalah resistensi dari kelompok yang memiliki pandangan eksklusif. Pendekatan ini sering kali dianggap melemahkan identitas agama karena melibatkan kompromi dengan nilai-nilai budaya lokal. Oleh karena itu, penting bagi para da’i untuk mengedepankan pendidikan keagamaan yang menekankan bahwa Islam mendorong harmoni dalam keberagaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsipnya.
Dakwah multikultural adalah pendekatan yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak dalam konteks global saat ini. Dengan memahami dan menghargai keberagaman, dakwah tidak hanya menjadi sarana penyebaran agama, tetapi juga alat untuk membangun perdamaian dan harmoni di tengah masyarakat yang beragam. Dari pendekatan dakwah multikultural ini kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa relasi agama islam dan tradisi local adalah satu hal yang tidak bias di pisahkan sama sekali. Bukan hanya dalam aktivitas dakwah akan tetapi segala lini kehidupan masyarakat islam tradisi, local menjadi satu penguatan nilai religiuitas yang berkembang di masyarakat yang kiranya penting untuk di pertahankan dan di pastikan bahwa tradisi local tidak mencederai nilai-nilai keagamaan, demikian pula sebaliknya bahwa nilai-nilai keagamaan tidak mencederai nilai-nilai tradisi local yang ada di lingkungan masyarakat.
B. Relasi Islam dan tradisi lokal
Relasi antara Islam dan tradisi lokal di Indonesia telah menjadi salah satu topik yang menarik untuk dikaji, mengingat keberagaman budaya dan adat istiadat di nusantara. Islam, yang mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-13, diterima secara damai melalui jalur perdagangan, perkawinan, dan dakwah kultural. Penyebarannya yang damai memungkinkan ajaran Islam menyatu dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas keduanya. Namun, tidak semua interaksi antara Islam dan tradisi lokal berjalan harmonis. Beberapa kelompok konservatif menganggap tradisi lokal tertentu sebagai bentuk bid’ah atau penyimpangan dari ajaran Islam. Misalnya, tradisi massorong dalma tradisi bugis kerap dikritik karena dianggap bertentangan dengan tauhid. Perbedaan pandangan ini sering kali memunculkan ketegangan dalam masyarakat.
Masuknya Islam ke wilayah Bugis pada abad ke-17 membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial dan budaya masyarakat setempat. Proses Islamisasi ini tidak menghilangkan tradisi lokal, melainkan menciptakan akulturasi antara ajaran Islam dan adat istiadat Bugis. Kemunculan Islam dalam masyarakat Bugis yang telah lama mengamalkan kebudayaan mereka yang sudah lebih dulu eksis. Akan tetapi, kedatangan budaya baru ke dalam budaya yang telah eksis tidak menghilangkan nilai dan identitas asal. Pertemuan dua budaya yang berbeda dapat menimbukan benturan satu sama lain.
Berbeda dengan pertemuan budaya Islam dan budaya Bugis justru terjadi percampuran yang menguntungkan satu sama lain. Islam menjadi bagian dari jati diri untuk menguatkan jati diri yang sudah ada sebelumnya. penyatuan Islam dan adat Bugis justru melahirkan makna khusus yang berasal dari masa lalu dengan menyesuaikan kepada prinsip yang diterima keduanya. Pertemuan arus kebudayaan melahirkan model adaptasi yang berbeda, atau bahkan sama sekali baru dengan yang sudah ada sebelumnya. Model adaptasi menjadi ‘di antara bentuk akulturasi’. Akulturasi sendiri diambil dari bahasa Inggris acculturate yang artinya: penyesuaian kebudayaan yang berbeda. Adapun dalam KBBI “akulturasi” adalah perpaduan dua tradisi yang bertentangan namun saling memengaruhi, atau masuknya pengaruh budaya luar dalam suatu masyarakat.
Sebagian menerobos secara eklektif sedikit atau banyak nilai kebudayaan luar tersebut. Dari definisi akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) dan dalam pertumbuhan selanjutnya telah terjadi korelasi budaya yang saling memengaruhi satu sama lain Dengan proses akulturasi yang berjalan beriringan, maka dua arus kebudayaan yang bertemu melahirkan integrasi. Jika ini disebut sebagai model, maka dapat pula menjadi sebuah solusi. Pembentukan identitas yang sudah selesai kemudian memerlukan klarifikasi dari unsur luar. Di tahap awal tentu akan menimbulkan konflik. Tetapi dalam proses yang ada terjadi proses restrukturisasi.
Proses akullturasi inilah yang menjadi titik temu antara islam dan tradisi local, yang menjadi penguatan nilai islam dan budaya, tentu hal inii menjadi satu epistentrum yang sangat signifikan antara kedua titik yang sama-sama memiliki nilai kuat di lingkungan masyarakat, menjadikan islam sebagai satu jalan menumbuhkan keyakinan dan kebudayaan menjadi penyokong manusia untuk menumbuhkan keyakinanya menggunakan pendekatan tradisi, maka secara gambling dapat kita simpulkan bahwa islam dan budaya local adalah kestuan yang memang secara fundamental tidak bias di pisahkan satu sma lainya.
Meskipun banyak yang pro dan kontra terhdap konsep akulturasi budaya dan Islam, sebagian besar masyarakat justru menganggap bahwa Islam adalah konsep beragama yang tidak menghilangkan nilai-nilai leluhur.
Kesimpulan
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan ajarannya yang menekankan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan beragam, dakwah harus dilakukan dengan strategi yang mempertimbangkan pluralitas tersebut. Dakwah tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan ajaran Islam tetapi juga untuk mewujudkan harmoni di tengah masyarakat yang multikultural. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan metode dakwah yang inklusif dan relevan dengan nilai-nilai lokal.
Dakwah multikultural menjadi salah satu pendekatan yang efektif dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pendekatan ini berangkat dari pengakuan terhadap keberagaman budaya, tradisi, dan agama, serta menekankan pentingnya harmoni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Islam. Dalam dakwah multikultural, tradisi lokal dipandang sebagai medium untuk menyampaikan pesan agama, seperti melalui seni atau ritual tradisional yang dikenal masyarakat. Hal ini mencerminkan semangat Islam sebagai agama yang inklusif dan rahmatan lil ‘alamin.
Relasi antara Islam dan tradisi lokal di Indonesia telah berlangsung harmonis sejak masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13. Proses Islamisasi sering kali berjalan melalui akulturasi budaya, menciptakan sintesis yang memperkaya identitas budaya lokal tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam. Namun, tidak semua interaksi berjalan mulus. Beberapa kelompok konservatif memandang tradisi lokal tertentu sebagai bentuk penyimpangan, sehingga muncul tantangan dalam mengharmoniskan keduanya.
Dalam praktiknya, akulturasi antara Islam dan budaya lokal telah melahirkan berbagai bentuk adaptasi yang memperkuat nilai religiusitas masyarakat. Tradisi lokal, seperti budaya Bugis, telah berinteraksi dengan ajaran Islam untuk membentuk identitas baru yang relevan dengan masyarakat setempat. Proses ini menunjukkan bahwa Islam dan budaya lokal tidak hanya dapat berdampingan tetapi juga saling menguatkan. Akulturasi ini menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal.
Kesimpulannya, dakwah multikultural adalah pendekatan yang mendesak dan relevan untuk diterapkan di Indonesia. Relasi antara Islam dan tradisi lokal bukanlah hubungan yang saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Tradisi lokal berfungsi sebagai medium untuk memperkuat nilai-nilai agama, sementara Islam memberikan dasar spiritual yang memperkaya budaya lokal. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi solusi untuk menciptakan harmoni di masyarakat multikultural tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.
Tinggalkan Balasan