Catatan Menjelang Hari Lahir PMII

Oleh : Muh. Akbar (Ketua Kaderisasi PMII Cabang Barru)


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tepat pada 17 April 2025 organisasi ini sudah menginjak usia ke-65 tahun. Pada 17 April 1960 ditandai sebagai hari lahirnya.

Organisasi yang dahulunya berdiri dengan tujuan untuk mewadahi mahasiswa Nahdlatul Ulama di bidang intelektual, dengan harapan setiap anggota dan kader PMII bisa mengamalkan ilmunya kepada masyarakat luas, “bukan ilmu untuk ilmu melainkan ilmu untuk diamalkan” ucap KH Idham Chalid selaku Ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) sewaktu sebelum organisasi PMII dibentuk.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, mulai awal pembentukan hingga saat ini sudah banyak melahirkan kader-kader hebat, sebut saja sahabat Zamroni. Aktivis PMII ini lewat kritikan dan gerakan aksinya terhadap kebijakan pemerintah membuatnya ditunjuk sebagai ketua (KAMI) Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada masanya. Tidak hanya Zamroni, juga ada Mahbub Junaidi, Ketua PP PMII pertama, melalui goresan penanya yang tajam mengkritik pemerintah, hingga dijuluki Pendekar Pena. Tulisan-tulisan yang kritis membuatnya diakui sebagai kader yang tangguh dan hebat yang dipunyai PMII.

Pertanyaannya sekarang, di umur yang sudah mencapai 65 tahun, bagaimana kader PMII hari ini? Sudah adakah yang bisa mengikuti jejak Zamroni dengan kesetian gerakan aksinya? Dan meneladani Mahbub Junaidi dengan kritikan tajamnya terhadap pemerintah melalui tulisan? Atau malah pergerakan kader hari ini mengalami degradasi atau penurunan secara kapasitas dan pengetahuan?

Pertanyaan ini penulis coba jawab melalui analisis dan pengamatan sederhana selama bergabung di PMII. Menurur penulis, kapasitas kader hari ini menurun terutama dari tradisi intelektual. Hal ini dibuktikan tradisi intelektual yang dibangun oleh para pendahulu perlahan mengalami degradasi atau penurunan.

Faktor yang menyebabkan kader PMII mengalami degradasi yaitu arus informasi yang kian deras. Arus informasi yang sangat deras ini menjadi masalah mendasar terjadinya degradasi. Sebab, di era kelimpahan informasi seperti sekarang kita kesulitan membedakan mana informasi benar dan hoax. Tanpa daya kritis melihat informasi yang ada hal ini membuat kader maupun anggota akan terbawa arus.

Bahkan bisa menutup ruang-ruang diskusi yang sehat di dalam tubuh PMII. Arus informasi di sini bukan berarti akses informasinya yang disalahkan, melainkan kepuasan bagi kader PMII setelah mengakses informasi, sehingga tak lagi mau membaca buku dan lebih senang membaca konten-konten yang tersebar di media sosial. Kader PMII harus menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Selain itu, kepuasan atas arus informasi yang sangat deras ini ditakutkan akan menghilangkan semangat kader untuk mengikuti jenjang kaderisasi yang ada di PMII karena menganggap informasi sudah bisa diakses dimana saja, sehingga mengikuti jenjang kaderisasi seperti PKD, PKL dan PKN tidak penting. Makanya tidak heran di forum-forum formal PMII, seperti, PKD, PKL, dan PKN, tidak menghasilkan output yang jelas. Hal ini dikarenakan, kader maupun anggota hanya dipaksakan mengikut setiap jenjang kaderisasi yang ada meski secara kapasitas belum mampu.

Tantangan Kaderisasi

Kaderisasi mempunyai makna yang cukup luas, sehingga terjadi beragam makna bagi kader PMII dalam memahami kata kaderisasi. Kaderisasi yang penulis pahami bukan sekadar mekanisme keanggotaan atau pelatihan administratif, melainkan proses pembentukan manusia yang berpikir kritis, memiliki kepekaan sosial, dan mampu bertindak dalam realitas yang kompleks. Di tengah polarisasi politik, derasnya informasi, dan ketimpangan sosial yang kian mencolok, tantangan kaderisasi PMII adalah bisa menjawab masalah tersebut.

Banyak organisasi mahasiswa terjebak dengan kompetisi jabatan internal, sementara masyarakat menghadapi krisis keadilan dan lingkungan. Maka pertanyaan yang harus dijawab adakah apakah sistem kaderisasi hari ini membentuk pemimpin masa depan atau sekadar melanggengkan rutinitas organisasi?

PMII masih menyimpan harapan, namun harapan itu tidak akan tumbuh jika hanya sekadar nostalgia, ia hanya bisa dirawat jika kita berani melakukan penyegaran total terhadap sistem kaderisasi yang ada. Merumuskan satu pendekatan yang baru adalah langkah awal untuk menjawab tantangan tersebut.

Kader PMII perlu dibekali kemampuan analisis yang tajam agar tidak terombang ambing oleh narasi yang ada. Pembentukan empati dan kepekaan kader terhadap realitas sosial perlu dalam proses kaderisasi, karena militansi tidak cukup hanya dengan argumen, sementara itu dalam bentuk pengamalan ilmunya langsung melalui aksi sosial, advokasi kebijakan, dan keterlibatan dalam dinamika masyarakat.

Proses kaderisasi ini dirancang melalui beberapa tahapan, yang pertama mapaba yang menanamkan nilai-nilai dasar PMII dalam konteks sosial, kedua, PKD sebagai ruang pendalaman isu dan praktik advokasi, serta PKL dan PKN untuk menyiapkan kepemimpinan yang strategis.

Di momen harlah PMII ke-65 tahun ini, anggota maupun kader PMII sudah seharusnya merefleksikan apa yang sudah mereka lakukan selama ber-PMII. Tradisi intelektual yang sudah diciptakan oleh pendahulu-pendahulu harusnya dirawat oleh anggota dan kader PMII hari ini. Tradisi pengetahuan seperti ruang diskusi jangan sampai hilang dalam tubuh PMII. Dengan menciptakan ruang diskusi bisa menjadi wadah bagi anggota dan kader PMII agar menuangkan gagasan dan pikirannya atas akses informasi yang sudah dilakukan.

Tidak cukup sampai di situ, sudah seharusnya anggota dan kader PMII kembali melihat ke belakang dengan mengaitkan kondisi hari ini yang bergerak semakin cepat dan kompleks. Maka dari itu, untuk menjawab tantangan tersebut, anggota dan kader PMII harus berpegang teguh pada tujuan utama pendahulu-pendahulu dalam mendirikan organisasi (PMII) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
Tutup