Parepare Jadi Kota Intoleran Versi SETARA Institute, Ketua LBH Ansor: Tidak Cerminkan Realitas Sosial
Analysis.co.id, Parepare – Ketua Lembaga Badan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel) Rusdianto menanggapi hasil riset Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute.
Dalam indeks tersebut, Kota Parepare mendapat skor terendah dari Indeks Kota Toleran tahun 2024 yang diluncurkan Setara Institute.
Rusdianto menilai label kota intoleran hasil riset Setara Institute perlu ditanggapi dengan hati-hati dan kritis.
“Riset ini tentu menjadi bahan introspeksi penting bagi kita semua, tetapi sekaligus harus diuji ulang secara metodologis dan sosiologis,” kata Rusdianto, dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (28/5/2025).
“Sebab, bila kita menelisik kehidupan sosial keseharian warga Parepare, gambaran intoleransi yang ditampilkan riset tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan,” tambahnya.
Menurutnya, Parepare yang dikenal sebagai ‘Kota Cinta’ dan kampung kelahiran Presiden ke-3 RI BJ Habibie memiliki sejarah panjang koeksistensi antarumat beragama yang relatif harmonis.
Keberadaan sejumlah rumah ibadah yang berdiri berdampingan serta tingginya angka partisipasi pemuda lintas iman dalam kegiatan sosial menjadi bukti nyata toleransi warga.
Namun, lanjut dia, tidak menampik bahwa beberapa insiden intoleransi sempat mencoreng wajah kota.
Salah satunya adalah penolakan sekelompok warga terhadap pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel beberapa waktu lalu.
“Kasus ini menjadi perhatian nasional, karena munculnya penolakan atas dasar identitas agama jelas bertentangan dengan prinsip konstitusi dan kebhinekaan,” jelasnya.
Ketua LBH Ansor Parepare itu menganggap kemunculan kelompok-kelompok kecil yang intoleran ini bukanlah cerminan umum warga Parepare.
Melainkan, kata dia, ekspresi sektoral dari paham eksklusivisme keagamaan yang menyusup ke ruang-ruang publik dan media sosial.
“Sayangnya, keberadaan mereka ini kerap memanfaatkan kekosongan regulasi atau lemahnya ketegasan aparat dan pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ujarnya menambahkan.
LBH GP Ansor mencatat bahwa kebijakan pemerintah daerah juga turut diperhitungkan dalam penilaian Setara Institute.
“Apakah pemerintah dianggap intoleran karena DPRD sempat blunder dengan mendukung kelompok intoleran? Atau karena pemerintah kota Parepare yang terkesan berpihak kepada kelompok intoleran?,” ucapnya.
“Apakah karena itu otomatis menjadikan Parepare intoleran? Padahal, kerukunan dan kedamaian yang selama ini terjaga karena masyarakat Parepare sudah dari dulu multikultural,” lanjut dia menambahkan.
Pihaknya menegaskan label intoleran tidak boleh menjadi stigma yang melemahkan ikhtiar kolektif masyarakat dan negara.
“Kita harus tetap kritis terhadap data, tetapi juga objektif dalam melihat bahwa masyarakat Parepare bukan masyarakat yang anti terhadap perbedaan,” tegasnya.
Ke depan, LBH GP Ansor mendorong pembentukan forum lintas iman secara kelembagaan, penguatan edukasi multikultural di sekolah, serta penegakan hukum yang adil terhadap kelompok yang menyebarkan kebencian berbasis agama.
“Parepare tidak boleh menjadi kota yang alergi terhadap keberagaman. Kita harus membangun ketahanan sosial terhadap intoleransi, bukan malah membiarkan isu ini dipolitisasi oleh pihak-pihak tertentu,” tutupnya.
Sekedar informasi, Kota Parepare mendapat skor terendah dari Indeks Kota Toleran tahun 2024 yang diluncurkan Setara Institute. Kota Parepare mendapatkan skor 3,945.
Peluncuran tersebut digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (27/5/2025).
Sementara kota dengan skor terendah kedua yaitu Cilegon dengan skor 3,994.
Berikut peringkat 10 terbesar kota paling intoleran berdasarkan indeks kota toleran dari Setara Institute:
85. Pagar Alam 4,381
86. Sabang 4,377
87. Ternate 4,370
88. Makassar 4,363
89. Bandar Lampung 4,357
90. Pekanbaru 4,320
91. Banda Aceh 4,202
92. Lhokseumawe 4,140
93. Cilegon 3,994
94. Parepare 3,945.
Tinggalkan Balasan